Hubungan Islam dengan Negara
Minggu, 13 Juli 2014
0
komentar
A.
Hubungan
antara Islam dan Negara menurut pemikiran islam indonesia
Merebaknya fenomena fundamentalisme islam, maka timbul kembali
diskursus hubungan antara Islam dan Negara walaupun bukan tergolong hal baru.
Sosiolog kontemporer, Peter L. Berger menyatakan bahwa modernisasi memang akan
membawa pengaruh sekulerisme, tetapi pada saat yang sama modernisasi juga
menghasilkan gerakan tandingan yang disebut dengan istilah desekulerisasi dan
fundamentalisme agama. Walaupun Islam telah mengalami kebangkitan untuk
bersaing dengan adanya ideology sekulerisme, namun hubungan Islam dan Negara tetap
rumit dibandingkan pertautan antara kapitalisme dengan demokrasi. Karena dalam
agama dan Negara mempunya dasar pijakan yang berbeda.
Islam dan Negara adalah dua kesatuan sejarah yang berbeda
hakikatnya. Islam adalah kabar gembira dan peringatan, sedangkan Negara adalah
kekuatan yang memaksa. Agama muncul dengan kekuatan dari dalam sedangkan Negara
muncul dengan kekuatan dari luar. Karena itu dalm melihat hubungan Islam dan
Negara pertama-tama keberadaan Islam berdiri harus dilihat secara
fenomenologis.
Dengan perpektif fenomenologis agama Amin Abdullah menjelaskan
bahwa sebenarnya esensi keberadaan agama itu dibedakan menjadi dua kategori
dengan cakupan yang berbeda. Yaitu antara agama normatif dan agama historis.
Maksudnya dari agama normatif adalah agama dalam wilayah tresenden milik Allah
SWT. sedangkan dalam kategori agama historis adalah agama sebagaimana di
tafsirkan oleh manusia menurut setting lingkungan sosial dan kepentingan
historisnya. Kebenaran absolut sebuah agama hanya ada dalam wilayah normatif,
sedangkan wilayah historis bersifat historis.
Menurut sosiologis, bahwa islam dikatakan tidak mengenal kesatuan
konsep agama dan Negara. Sebab menurut Nurcholis Madjid dalam Islam tidak ad
sebuah lembaha kependetaan yang menjadi tuhan di dunia dengan wewenang
keagamaan dan berhak menentukan sepiritualitas seorang hamba. Pikiran dari seorang
syekh hanya terbatas pada pengetahuan agama, wewenangnya hanya terbatas pada
masalah kultur dan tidak ada sangkut pautnya dengan wewenang politik.Dikatakan
pula bahwa cita-cita politik Islam selalu merujuk pada khazanah klasik yang
literature keagamaan Islam sering disebut Al salaf as Shalih ( masa klasik yang
sholih).
Hubungan negara dan agama dilihat
secara ideologis harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang,
bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan. Sebab pemikiran mendasar tentang
kehidupan adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan
kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah
kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada
sebelumnya dan sesudahnya.
Menurut Abdul Hayyie al-Kattani dalam bukunya “Sukses
Kuliah di Negara-Negara Islam” Ideologi yang ada di dunia ada
tiga, yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam,
maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun ada tiga macam pula,
yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme dan aqidah Islamiyah. Masing-masing
aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai
pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan
agama-negara.
Agama hanya berlaku dalam hubungan
secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara amat
terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud secara
institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya terwujud
dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
Aqidah Sosialisme adalah Materialisme yang
menyatakan segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Tidak ada tuhan,
tidak ada ruh, atau aspek-aspek kegaiban lainnya. Agama tidak mempunyai tempat didalam
Sosialisme. Sebab agama berpangkal pada pengakuan akan eksistensi tuhan, yang
jelas-jelas diingkari oleh ide materialism yakni hubungannya dapat diistilahkan
sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara
mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Aqidah
ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil
hayah), atau secularisme. Ide ini tidak menafikan agama secara mutlak, namun
hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Agama hanya berlaku dalam
hubungan secara individual antara manusia dan tuhannya, atau berlaku secara
amat terbatas dalam interaksi sosial sesama manusia. Agama tidak terwujud
secara institusional dalam konstitusi atau perundangan negara, namun hanya
terwujud dalam etika dan moral individu-individu pelaku politik.
Aqidah
Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan qadar (taqdir) Allah. Aqidah Islamiyah
menetapkan bahwa keimanan harus terwujud dalam keterikatan terhadap hukum
syara’, yang cakupannya adalah segala aspek kehidupan, dan bahwa pengingkaran
sebahagian saja dari hukum Islam (yang terwujud dalam sekulerisme) adalah suatu
kebatilan dan kekafiran yang nyata. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus)
terhadap perkara yang mereka perselisihkan..” (QS An Nisaa` : 65)“Barangsiapa
yang tidak memberi keputusan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS Al Maa`idah : 44)
Secara garis besar
pendapat tentang hubungan Islma dengan Negara dapat di kategorikan dalam tiga
pola utama, pertama menyatakan kesatuan organik antara politik secara
formalistik dalam suatu Negara islam. Kedua, pendiri sekuleris yang
memisahkan dengan tugas antara agama dengan Negara. Negara diyakini memiliki
wewenang dalam wilayah publik, sedangkan agama terkait persoalan privat
sehingga tidak mungkin dipertemukan antara keduanya. Ketiga, pendapat
substantif yang menyatakan bahwa Islam memang tidak menggariskan secara khusus
teori ketatanegaraan, namun Islam memiliki etika dan nilai tertentu bagi
kehidupan Negara.
B. Upaya untuk memajukan umat Islam Indonesia.
Umat
Islam tidaklah meninggalkan aspek aqidah dan muamalah kita didalam kehidupan,
karena tanpa itu semua kita tidak dapat mencapai suatu kesatuan umat yang
kokoh. Umat Islam Indonesia juga harus selalu menyadari tanpa bersatunya umat
maka akan sulit untuk memajukan umat Islam tersebut. Dengan kesadaran bersama
untuk memajukan islam diharapkan semua kalangan harus ikut andil dan bersatu
padu untuk membangun umat islam yang sebenar-benarnya dan mampu bersaing dengan
perkembangan zaman.
Dengan
mau
membuka mata-batin dan wawasan secara objektif, sungguh banyak lahan umat yang
memerlukan jihad untuk memajukan
umat. Umat ini
masih memerlukan jihad bil-fikr (ijtihad) jihad bil-amwal, dan jihad bi
al-nafs, yang memerlukan optimalisasi segala kemampuan dan kesungguhan. Itulah
jihad al-akbar di segala bidang kehidupan. Umat Islam masih memerlukan jihad
untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan yang membuat dirinya
selama ini lemah dan dilemahkan baik secara ekonomi, sosial, intelektual, hingga
tertinggal secara politik.
Paham-paham
dan problem penghambat kebangkitan Islam :
a. Kebodohan
b. Kerusakan
budi pekerti
c. Kebejatan
moral dan kerusakan budi pekerti para pemimpinnya
d. Sikap
penakut dan pengecut
e. Sekularisme,
f. Liberalisme
g. Pluralisme
h. Nasionalisme
i. Kurang
memahami Islam dengan Benar
j. Munculnya
penyakit Whan (kecintaan dunia dan takut mati)
k. Kesalahan
memahami qada dan qadla,
l. uhud
secara berlebihan dengan meninggalkan perkara duniawi secara terfokus hanya
persoalan akhirat.
2.
Strategi
Membangkitkan Umat Islam dalam keterpurukan :
a. Aspek Theologis
Kaum
muslimin harus kembali berusaha untuk mengaplikasin al-quran ditengah-tengah
kehidupan kita melalui reintrepretasi al-quran dan mendakwakannya
ditengah-tengah kehidupan, seraya menjelaskan bahwa islam merupakan agama yang
komprohensif yang mengatur seluruh tatanan hidup masyarakat dan aqidah
islam mengajarkan kepada seluruh kaum muslimin untuk melaksanakan segala
perintah Allah baik dalam bidang aqidah, syariah, politik, ekonomi, social dll.
b. Aspek Pendidikan
Sudah
seharusnya kaum muslimin saat ini mempelajari Islam secara menyeluruh dengan
tujuan untuk membangkitkan Islam dalam keterpurukannya saat ini, dengan cara
bersungguh-sungguh menuntut ilmu dengan benar dan niat ikhlas yang ikhlas
demi membangkitkan umat dalam keterpurukan.
3. Aspek Ekonomi
Kaum
muslimin harus memiliki etos kerja yang baik demi mendapatkan kesejahteraan
hidup didunia, karena hidup dalam kemiskinan dapat mengantarkan seseorang
kepada kekufuran.
4. Aspek Politik
Dalam
masaalah politik umat islam harus memahaminya berdasarkan islam, dimana islam
memaknai politik sebagai upaya mengurus urusan umat dengan al-quran dan
asunnah, sehinggah pada saat penguasa berbuat zhalim dengan meninggalkan
hokum-hukum Islam maka umat melakukan koreksi terhadap penguasa dengan cara
yang baik.
Daftar Pustaka
Abdul Hayyie
al-Kattani, Februari 2009, Sukses Kuliah di Negara-Negara Islam ,Jakarta, Gema
Insani Press (GIP). 322
digilib.uin-suka.ac.id/2521/1/BAB%20I,VI,DAFTAR%20PUSTAKA.pdf
Bagaimana sobat artikelnya menarik bukan, semoga bisa bermanfaat buat kalian semua ya... jangan lupa mampir disini juga ya banyak juga tulisan yang seru loh...
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Hubungan Islam dengan Negara
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://azmiipratama.blogspot.com/2014/07/halo-teman-teman.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar